Langsung ke konten utama

Tarian dalam Realitas Kehidupan

"Seni merupakan pantulan dari realitas sosial yang dimana seniman hidup dan menjadi bagian dari lapisan sosialnya (G.V. Plekhanov, 1957)".

Dua orang pemuda bertubuh pejal berpakaian hitam-hitam itu duduk berhadapan. Mata mereka saling menatap. Kemudian dengan gerakan yang ganjil, mereka saling memiting. Tak lama kemudian, empat orang pemuda bertubuh dan berpakaian yang sama berjalan perlahan dengan kepala tertunduk dari sisi kanan kiri. Dua pemuda tersebut kemudian bergabung dengan mereka.

Awalnya hanya terdiam dengan sesekali gerakan-gerakan kecil. Sementara musik yang mengalun makin meningkatkan tempo, seiring gerakan keenam pemuda yang tampak liar namun dengan tempo yang rapi dan kompak.

Keenam pemuda tersebut saling berpasangan, namun pada beberapa kesempatan terlihat seperti berganti pasangannya, yang kemudian diakhiri dengan tatapan mencemooh dari pasangan yang ditinggalkan.

Mereka melompat, berlari, berdiri di atas kedua tangan dan kepala. Seperti sebuah kerusuhan. Ada beberapa yang terkapar, dan ada pula yang tampak meratap.

Adegan layaknya sebuah perkumpulan yang rusuh itu merupakan tari kontemporer berjudul "Rantok Bunian" karya Joni Andra yang dipertunjukkan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (24-6).

Penampilan para pemuda yang tergabung dalam Impessa Dance Company, Sumatera Barat tersebut mengajak kita untuk menekuri realitas yang begitu dekat sekarang ini dalam kehidupan kita. Sebuah pengucilan akibat kesalahan, namun orang yang merasa dikucilkan tak jua sadar akan kesalahan yang diperbuat.

Peristiwa itu seperti memetik kesadaran kita. Bukankah sebuah kesalahan dilakukan agar manusia bisa mengambil pelajaran dari sana? Dan, tidakkah dapat tersadarkan oleh kesalahan tersebut. Bahkan orang buat pun tidak akan jatuh pada lubang yang sama.

"Rantok Bunian" bercerita tentang kehidupan segelintir manusia yang hidup dengan terjangkiti virus HIV/AIDS. Penyakit yang mereka derita itu membuat mereka merasa terdiskriminasi dan diberi stigma jelek dari masyarakat.

Namun, perasaan terdikriminasi itu membuat mereka terjebak oleh pandangan mereka sendiri; mereka perlu mendapat perlakuan dan perhatian khusus. Sementara, dengan kesadaran, mereka terus melakukan tindakan yang dahulunya membuat mereka terjangkiti HIV/AIDS itu: drugs dan freesex.

Munafik, Joni menyebutkan. "Mereka yang terjangkiti berkoar-koar untuk menjauhi narkoba dan sex bebas. Namun, mereka sendiri tetap melakukan aktivitas itu," papar Joni sebelum pentas.

Sebagai karya seni, koreografi ini berhasil memasukan kritik yang mendalam terhadap perilaku manusia. "Karya ini merupakan sindirian, kritik sosial dari realitas yang saya lihat di sekeliling saya," ujar Joni.

Itulah kelebihan seni kontemporer, ungkap Joni. Seni kontemporer, dalam hal ini, tari, kata Joni, memiliki banyak 'ruang kosong' yang dapat dimasukan kritik-kritik tentang realitas yang terjadi di masyarakat.

Bandingkan dengan tari tradisi, tambah Joni, yang sudah mempunyai pakem-pakem tertentu yang tidak dapat diubah-ubah. "Seni seharusnya tidak dipisahkan dari realitas. Kontemporer memiliki ruang kosong itu," urai Joni.

Selain "Rantok Bunian", Joni dan Impessa Dance Company tersebut juga mebawakan "Cincin Kelopak Mawar" yang merupaka adaptasi dari cerpen dengan judul yang sama karya Firdaus (Juara II lomba cerpen AA. Navis Award).

Sebelumnya, di gedung yang sama, dipertunjukan dua tari kontemporer, "Huff" (karya Ari Ersandi) dan "Samirat" (karya Agus Gunawan) serta musik kontemporer dari Komunitas Persada Enika, Bogor berjudul "Nyanyian Bumi" karya Jamal Gentayangan. TRI PURNA JAYA.

Foto-foto oleh: M. REZA

*lihat versi cetaknya Di Sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...