Langsung ke konten utama

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam


Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda.

Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu.

“The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook.

Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam. 

Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut.

Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan rumah.

Robert yang dihubungi melalui e-mail menginformasikan bahwa seni instalasi itu karya Jennifer Tee, seniman Belanda keturunan Cina – Belanda yang lahir di Indonesia.

“Karya itu dibuat ada dua panel, masing-masing berukuran 3x9 meter. Ditampilkan pertama kali di Centraal Station Amsterdam pada tahun 2017,” kata Robert melalui e-mail, Jumat (4/9/2020).

Robert juga memberikan bantuan informasi mengenai karya seni instalasi ini dengan menghubungi produser dan sang seniman. 

Sementara itu, sang seniman, Jennifer Tee mengatakan, karya itu berjudul “Tulip Palepai, navigating the river of the world”. 

Jennifer mengungkapkan bahwa karyanya itu memang terinspirasi dari Kain Kapal yang adalah kain tradisional khas Lampung yang merepresentasikan kapal dan kehidupan manusia.

“Tulip dan Kain Kapal sangat berarti bagi saya pribadi. Ayah saya bersama orangtua dan saudara perempuannya naik kapal dari Indonesia ke Belanda. Kakek dari Ibu, setiap tahun naik kapal ke Amerika untuk berdagang umbi tulip,” kata Jennifer. 

Jennifer mengakui fakta bahwa dia sangat terhubung dengan kapal, tulip, dan Indonesia. 

Hal-hal itu membuatnya berpikir membuat sebuah karya yang bisa merangkum semua fakta-fakta itu.

Tulip Palepai ini, kata Jennifer, dibuat dari susunan (kolase) kelopak 30 varietas bunga tulip.

Warna-warna yang terlihat dari karyanya itu adalah warna bunga tulip sesungguhnya, bukan diberikan pewarna buatan. 

Agar bisa mendapatkan warna yang diinginkan untuk Tulip Palepai itu, Jennifer menghabiskan waktu dua tahun untuk meneliti ukuran, warna, dan bentuk bunga tulip. 

Lebih dari 100.000 kelopak bunga tulip kering digunakan untuk membuat karya seni tersebut. 

Setelah semua bahan terkumpul, kelopak bunga tulip kering itu disusun di atas kaca sesuai sketsa. 

Hasilnya, lahir sebuah karya seni bernapaskan dua kebudayaan, Belanda dan Lampung. 

“Saya sangat menyukai material-material yang mempunyai makna kebudayaan dalam karya saya,” kata Jennifer. 

Kain kapal ini sendiri adalah kain tradisional khas Lampung yang sudah menjadi barang langka. 

Ada tiga macam Kain Kapal apabila dilihat berdasarkan panjangnya kain, yakni Nampan yang berukuran kurang dari 1 meter. 

Nampan ini digunakan untuk pelapis nampan pada acara pernikahan adat Lampung. 

Kemudian, Tatabin yang panjangnya lebih dari 1 meter yang biasa digunakan sebagai hiasan dinding. 

Kemudian Palepai atau Pelepai yang panjangnya 3 meter atau lebih. 

Palepai ini biasa digunakan untuk hiasan dinding oleh orang yang memiliki kedudukan di masyarakat adat Lampung.


*Artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul "Cerita Motif Kain Kapal Lampung Muncul di "Gerbang Kota" Amsterdam"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...