Langsung ke konten utama

Hidup ini Banal: Jadi, Nikmati Saja

"Kaulah kini yang harus bercerita. Selesai sudah. Tak ada lagi yang dapat kukenang,".

Itulah sepenggal dialog yang menggambarkan pergolakan batin seseorang -perasaan antara ingin menafikan dan mempertahankan sebuah kenangan, pada pementasan Kisah-kisah yang Mengingatkan (90 Menit yang Hilang Darimu) karya Iswadi Pratama, Teater Satu Lampung, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Jumat (4-12).

"Bahkan kini aku tak tahu, apakah aku harus menujumu atau menjauhimu,".

Teater Satu Lampung mementaskan sebuah pertunjukan yang mereka namakan teater puitis. Kalimat-kalimat puitis hasil torehan Sitok Srengenge adalah kekuatan dalam lakon ini. Inti teks itu berkisar pada pertanyaan-pertanyaan sepasang kekasih untuk menemukan apa yang mempesona di tengah banalitas hidup. Bahasa, khususnya bahasa sastra menjadi faktor yang utama pada nilai-nilai artistik dan estetika dalam lakon tersebut. Sehingga, set panggung yang minimalis pun tidak menjadi suatu kekurangan dalam pertunjukan tersebut.

Dengan alur cerita yang puitis, lambat namun intens, Kisah-kisah yang Mengingatkan (90 Menit yang Hilang Darimu) tersebut berusaha mengajak penonton untuk lebih menyelami upaya dari dua tokoh, Sang (Ruth Marini) dan Si Pencari (Budi Laksana), mencari kenangan-kenangan yang berkelebat di sekitar mereka.

Pertunjukan berdurasi 60 menit ini banyak diisi dengan "tablo", aktor-aktor berdiri diam dengan pandangan kosong ke depan. Dialog-dialog yang terjadi lebih mirip sebuah senandika (wacana untuk mengungkapkan konflik batin pada suatu tokoh dalam karya sastra). Para aktor/aktris menggumam sendiri, tak jarang seperti igauan. Dialog-dialog kadang tumpang tindih tanpa berpretensi menjadi sebuah dialog, tetapi membentuk suatu ikatan linier antartokoh tersebut laiknya puisi.

"Kau hanya menyajikan kopi dan aku bahagia. Kau menikmatinya dan aku bahagia. Tapi kopimu kemanisan. Serbuknya tertinggal di bibirmu. Diam-diam aku mencicipi kopimu. Mencari bekas bibirmu,".

Pertunjukan ini terdiri atas empat bagian. Tiap-tiap bagian mengisahkan tentang pencarian kenangan dengan sudut pandang yang beragam, yang saling berkonfrontasi, namun terjahit dalam satu cerita. Ada tokoh Si Pencari yang terus mengeluarkan kenangan-kenangannya yang perih. Sementara itu, kekasihnya, Sang, masih terus berharap bisa kembali merajut cerita yang sempat tertunda.

Terjadi pergolakan batin pada diri keduanya dalam upaya menemukan kenangan tersebut. Dikemas dengan sangat apik dalam sebuah fragmen bernuansa dunia persilatan pada bagian tengah cerita. Sapu lidi, bilah-bilah bambu, dan kain-kain merah penutup wajah, menjadi properti sederhana dalam adegan pergolakan batin tersebut. Sapu lidi seakan menjadi pedang yang dipakai untuk menebas ingatan-ingatan yang tak diinginkan. Bahkan bayangan para pemain seperti ikut bertarung.

Pergolakan batin pada keduanya terus berlanjut. Masa lalu seakan-akan menjadi musuh abadi. "Kalau mau pupus, pupuslah! Kalau mau hancur, hancurlah! Kalau mau musnah, musnahlah! Kalau mau binasa, binasalah!" kata keduanya bergantian seakan pasrah oleh keadaan, dikepung formasi bambu berbentuk segi empat yang seperti menggambarkan kepenatan yang menjerat mereka.

Hingga pada ujung menit pertarungan antara diri sendiri dan masa lalu belum juga berdamai. Si Pencari berjumpa kembali dengan kekasihnya. "Kau berjanji akan melanjutkan ceritamu jika kita bertemu lagi," pinta sang kekasih.

Menurut Iswadi, lakon ini disajikan dalam bentuk fragmen-fragmen yang saling terpisah. Dimana fragmen-fragmn tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap cerita dengan gaya yang puitik dan menghadirkan impresi-impresi yang dramatik.

"Inti ceritanya, terimalah hidup ini lebih sederhana. Karena kadang-kadang, tidak semua logika dalam kehidupan bisa dijelaskan secara gamblang. Ada sisi yang tak terjelaskan. Nikmati pesona yang ada," tuturnya. (TRI PURNA JAYA)

FOTO-FOTO OLEH: M. REZA
lihat versi cetaknya Di Sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...