Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung.
Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut.
Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung.
Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk.

"Bangsa sendiri, duduk, makan, minum dan tertawa di hadapan kuli-kuli yang sengsara,"
Sang pahlawan Lampung, Radin Intan tumbuh di tengah kondisi sosial yang carut marut itu. Darah mudanya menggelegak melihat penderitaan para rakyat jelata.
Radin Intan mulai mempertanyakan "previllage" yang dimilikinya sebagai bangsawan, di tengah-tengah para bangsawan lain yang seolah tutup mata.
"Asa itu pula yang kini tidak ada. Orang berharta bisa berkelimpahan, sementara bangsanya makan tidak pernah. Menjadi kuat dan berkuasa dengan melangkahi orang-orang yang dulu menjadi pijakan kakinya,"

Didikan sang ayah, Ratu Imba Kesuma membuka mata Radin Intan, bahwa tidaklah layak seorang bangsawan bertindak semena-mena, tak ubahnya para penjajah.
"Ingat baik-baik, Radin. Lancung sikap dan perbuatanmu, umpama najis yang memercik di seluruh wajah, itulah pesan ayah pada kita,"
"Api (apa) obat malu, Indu (ibu),"
"Mati, Anakku!"
Namun, bagi Radin Intan, rasa "malu" itu terbentuk atas pemikiran bahwa seorang bangsawan yang memiliki kuasa seharusnya malu jika berpangku tangan melihat ketidakadilan.
Pada akhirnya, Radin Intan gugur setelah dijebak penjajah melalui pengkhianatan bangsawan yang bermuka dua.

Perspektif baru
Sutradara sekaligus penulis naskah "Dimana Engkau Radin?", Iswadi Pratama mengatakan pertunjukan itu tidak bermaksud menjadi versi lain dalam catatan sejarah.
"Ini hasil riset dari data dan manuskrip terkait Radin Intan II, yang kemudian saya intepretasikan melalui perspektif dari sisi yang lain," kata Iswadi seusai pentas, Kamis malam.

Dia mengatakan, pertunjukan itu hanyalah upaya untuk membaca ulang sejarah dan mensarikan nilai atau pesan yang bisa hidup.
"Dan menjadi daya bagi kita yang hidup hari ini untuk merawat daulat dan martabat sebagai sebuah masyarakat dan bangsa," kata dia.
Komentar
Posting Komentar