Langsung ke konten utama

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich


Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya.

Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba.

Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya.

Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia.

Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 2021. "Setelah proses panjang beberapa tahun dalam tim kami,“ jelas Ayu.

Load, jelas Ayu, mempertanyakan keseimbangan posisi perempuan dan laki-laki di budaya suku Pepadun, Kota Bumi, Lampung Utara, tanah kelahirannya.

Di panggung yang berada di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, Ayu mewujudkannya dalam sebuah gerakan duduk dan berdiri di atas batu persegi empat yang tidak rata. Non-stop selama 35 menit. Oleng beberapa kali, namun tidak sampai terpelanting.

Matanya terpejam, tangannya naik turun, tubuhnya mengubah posisi dari duduk lalu berdiri, atau sebaliknya. Ketika oleng, 100-an penonton yang nyaris memenuhi Rote Fabrik, menahan napas. Ayu kadang mendesis jika nyaris jatuh.

Begitu Ayu menyelesaikan "keseimbangan Load-nya“, di antara gemuruh tepuk tangan penonton, Nia Agustina langsung berlari menuju panggung, dan memeluk erat erat penarinya.

"Sangat, sangat sulit,“ kata Ayu. Latihannya, imbuhnya, memakan waktu yang tidak sedikit. Tidak berlebihan jika penari dan dramaturgnya ini terlihat sangat lega malam itu.

Ayu menari sejak usia 9 tahun di Lampung. Tamat seni tari Institut Seni Indonesia di Yogyakarta. Pada mulanya ingin menjadi dosen tari, namun akhirnya memutuskan murni menjadi penari profesional. Pernah tampil di Belgia, Jerman, Malaysia dan Singapura.

Zurich Teather Spektakel (ZTS), katanya, baru pertama kali dijajakinya. "Saya diundang ZTS, dan alhamdulillah, meski banyak kendala karena Covid-19, akhirnya terlaksana juga sampai kemari,“ katanya.

Beberapa tahun sebelumnya, ZTS tercatat pernah mengundang Garin Nugroho dengan Opera Jawa, Jecko Siompo, atau penampilan tunggal Eko Supriyanto, penari kelahiran Banjarmasin yang pernah menjadi penari latar Madonna.


*Artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul "Penari asal Lampung Tampilkan Karyanya di Pentas Teater Dunia di Swiss”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...