Langsung ke konten utama

Membangun Surga Kita Sendiri di Rumah

"Kita bisa membangun surga kita sendiri di rumah," kata seorang aktor setelah hampir capai menunggu seumpama Godot. Harapan, cita-cita, mimpi, dan apa pun sebenarnya tak harus jauh-jauh dicari,"

Barangkali inilah yang hendak disampaikan Komunitas Berkat Yakin (Kober) yang mementaskan Rumah atawa Berkunjung ke Rumah Nenek dalam Pementasan Teater Kala Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Jumat (29-5). Pentas ini sekaligus menutup pergelaran yang diadakan Teater Satu bekerja sama dengan Hivos.

Dahsyat! Meminjam ucapan seorang aktor dalam lakon, memang tidak berlebihan untuk menyebut pentas Kober ini. Ditulis keroyokan (tim Kober) dan disutradarai Ari Pahala Hutabarat, Kober mampu menyajikan pementasan yang hidup, meskipun terasa lambat.

Pada awal pentas penonton sudah dibuat terkesima gerakan aktor/aktris yang berlarian di atas panggung. Pengekspresian perasaan muram dan kebingungan dari masing-masing aktor/aktris patut diacungi jempol.

Set panggung yang minimalis membuat akting aktor/aktris terlihat menonjol, baik itu yang berperan sebagai latar ataupun yang berperan sebagai peran utama dari masing-masing adegan. Pergantian antaradegan pun berlangsung sangat mulus, seperti efek fadeout dalam film.
Rumah adalah sebuah lakon yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyoalkan tentang pulang dan pergi. Sebuah persoalan yang setiap hari kita alami dan diterima begitu saja. Seperti adegan pembuka dan penutupnya yang menggambarkan "kepergian dan kepulangan" tersebut.

Menonton lakon ini seperti membaca puisi. Dalam tiap-tiap adegan mengandung metafora tersendiri. "Seperti puisi. Abstrak. Tiap-tiap orang yang menonton dapat dengan bebas menafsirkannya, tergantung pengalamannya masing-masing," ujar Sitok Srengenge (Kurator Komunitas Salihara Jakarta) ketika ditemui seusai pentas. "Bisa menimbulkan perasaan utopis bagi yang mengalaminya, yaitu sesuatu yang tidak sia-sia jika dilakukan apabila diyakini, seperti agama contohnya." tambahnya.

Kekuatan kata-kata merupakan daya magis dari lakon Rumah ini. Seperti puisi, setiap gerakan dan kata-kata dari masing-masing aktor/aktris merupakan sesuatu yang berkesinambungan. Saling terikat antara yang satu dengan yang lain, tetapi juga dapat berdiri sendiri atau mempuyai makna sendiri tergantung cara pandang individu yang menontonnya. "Mungkin, bisa juga disebut Teater Puisi, di mana kata-kata adalah unsur yang sangat diperhatikan. Dan, oleh Teater Berkat Yakin dikemas dengan cemerlang," kata Sitok.

Ada yang menarik pada ending cerita saat seorang tokoh berkata, "Kita harus mencarinya, kalau tidak, kita akan kehilangan alasan untuk berjalan".

Artinya, apa pun yang akan kita lakukan harus diyakini dengan sebenar-benarnya agar tidak hilang arah dalam melakukan sesuatu karena dapat dipastikan, sesuatu itu akan selalu berhubungan dengan diri dan lingkungan sekitar kita.

Puluhan penonton yang didominasi anak sekolah memenuhi setiap kursi yang tersedia. Penutupan pentas teater se-Sumatera yang ditandai kesan salah satu pengamat, Ratna Riantiarno dari Teater Koma, Jakarta, dan sambutan penutup Pemimpin Umum Teater Satu Iswadi Pratama sebagai pemrakarsa pergelaran tersebut. (TRI PURNA JAYA)

FOTO-FOTO OLEH: M. REZA


DAPAT JUGA DILIHAT DI SINI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...