Langsung ke konten utama

KA Limex Sriwijaya dan Kenangan yang Perlahan Menguap Bersamanya...

KA Sriwijaya pernah menjadi primadona bagi pecinta kereta api di Sumatera Selatan (Sumsel) dan Lampung. Namun, kini nasibnya entah kemana.

"Iya, kenapa sekarang nggak ada ya? Padahal dulu pas awal-awal nikah sering PP (pergi-pulang) naik Limex," kata Rustam (40) seorang pengacara di Bandar Lampung saat dihubungi, Rabu (31/7/2024) pagi.

Rustam lebih akrab dengan nama "Limex" yang merupakan singkatan dari Lintas Malam Ekspres untuk KA Sriwijaya yang beroperasi sejak Juni 1967 itu.

Di masa keemasannya, KA Sriwijaya dianggap angkutan bagi orang-orang berduit. Harga tiketnya yang sekitar Rp 150.000 lebih mahal dibanding KA Rajabasa, kereta ekonomi (pagi) untuk perjalanan Tanjung Karang - Kertapati.

KA Sriwijaya berangkat dari Stasiun Tanjung Karang sekitar pukul 21.00 WIB. Setelah menempuh perjalanan 8 jam, kereta tiba di Stasiun Kertapati saat matahari mulai muncul.

"Tapi nyaman naik Limex, datang, duduk, tidur. Bangun-bangun sudah di Palembang," kata Rustam.

Rustam sendiri dua minggu sekali pergi ke Palembang. Istri dan 2 anaknya tinggal di sana. Mereka menjalani long distance relationship (LDR).

Banyak kenangan yang dimilikinya saat menaiki KA Sriwijaya ini. Rasa rindu yang kian memuncak saat kereta memasuki area Kertapati, langsung terbayar lunas melihat istri dan anaknya menunggu di area parkir stasiun.

"Istri sama anak sekarang udah di sini (Bandar Lampung). Terakhir naik Limex itu pas lebaran sebelum pandemi," katanya.

Penumpang setia KA Sriwijaya lain, Angga (38) mengatakan dia lebih menyukai naik kereta malam. Jumat malam setiap pekan adalah jadwal rutinnya pulang ke Palembang.

Begitu pekerjaan selesai pada Jumat sore, dia bersiap lalu langsung pergi ke Stasiun Tanjung Karang.

"Minggu malam balik lagi ke Lampung, nyampe stasiun langsung ke kantor. Tidur cukup di kereta, nyaman juga kok, AC kencang, kursinya juga empuk," kata dia.

Sementara itu, pelaksana tugas (Plt.) Executive Vice President PT KAI Divre IV Tanjung Karang, Mohammad Ramdany mengakui banyak masyarakat yang menanyakan keberadaan KA Sriwijaya ini.

Dia mengungkapkan, awal mula KA Sriwijaya "menghilang" adalah ketika pandemi melanda Indonesia dan Dunia.

"Limex malam itu ditutup karena memang masih dalam pandemi saat itu. Sehingga, tidak terlihat ada peningkatan penumpang," katanya.

Selain itu adanya Tol Trans Sumatera yang membuat waktu tempuh Lampung ke Palembang hanya 4-5 jam menjadi salah satu faktor menurunnya minat masyarakat itu.

Ramdany menambahkan, rencana untuk menghidupkan lagi KA Sriwijaya ini masih dalam pembahasan.

"Masih dibahas dan diteliti. Jangan sampai begitu ditambahkan pelayanannya malah jadi rusak," katanya.


*artikel ini telah tayang di KOMPAS.com dengan judul: KA Limex Sriwijaya dan Kenangan yang Perlahan Menguap Bersamanya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...