Langsung ke konten utama

Saminem Berjuang untuk Cucu dan Suaminya

"Senandung mbah mengalunkan tembang/dengan syair kesahajaan/pantang mengemis tetapkan kehalalan/dan aku mengalirkan air mata panasku/pada nyala temaram di tengah tumpukan kacang rebus/pada tiap magrib di pinggir jalan," (sajak Sebatang Lilin Mbah Kacang, ditulis oleh Kyokoque dari http://www.kyokoque.wordpress.com/)


Seorang perempuan tua dengan resam yang bersahaja, mengenakan batik dan kain jarik, berjalan agak lambat, menyeruak diantara hiruk pikuk orang yang berjalan dan berjualan di sebuah gang sempit Lorong King, Bandar Lampung.

Agak bising. Suara-suara penjual yang menawarkan dagangan dan pembeli yang tawar menawar, menjadi latar belakang aktifitas sehari-hari yang telah puluhan tahun ia jalani.

Seperti tidak memperdulikan keriuhan tersebut, Saminem (85), kemudian duduk di ujung gang sempit tersebut. Setelah membenarkan kain jarik yang dikenakannya, ia lalu menata barang dagangannya dengan tangannya yang kurus dan keriput.

Sebuah tampah bambu yang dialasi bakul berukuran besar menjadi alas panganan rakyat yang dijualnya, kacang rebus. "Saya jualan sudah puluhan tahun di sini. Dari gedung itu masih baru mulai dibangun," tutur Saminem dengan logat Jawa dialek Yogyakarta yang kental sambil menunjuk ke arah Simpur Center yang dahulu dikenal sebagai King Plaza. Saminem menjajakan kacang rebusnya mulai dari pukul 14.00--16.00.

Saminem pindah ke Lampung pada tahun 1956. Sebelumnya ia tinggal di Yogyakarta. Menurutnya, sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Sai Ruwa Jurai ini, ia sudah berjualan kacang rebus. "Dulu, waktu zaman Jepang, saya bantu-bantu di dapur umum kamp pejuang," paparnya sedikit mengenang, Kamis (20-4).

Kini, dengan bermodalkan kacang rebus, kacang tanah goreng yang diolahnya sendiri, Saminem menghidupi keluarganya. Suaminya, Jaliman (85), menurut Saminem, hanya seorang pensiunan tentara, saat ini tidak bisa bekerja karena kedua matanya rabun, sedangkan uang pensiunan yang diterima sang suami, tidaklah cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Buyut empat orang cicit tersebut saat ini menjadi Kartini bagi suami dan satu orang cucunya di rumahnya yang bertempat di Gang Rahayu, Kelapa 3, Kaliawi.

"Mbah Lanang (suami, red) saya sebenarnya tidak memperbolehkan saya jualan lagi. Sudah tua katanya. Tapi, wong saya gak betah menganggur, lebih baik saya jualan," ujar dia sambil membungkus kacang rebus pesanan seorang pembeli.

Dan, hasil berjualan kacang rebusnya yang tidak seberapa banyak tersebut -tidak mencapai Rp.50 ribu sehari, kini selain digunakan untuk biaya hidup sehari-hari, juga memakainya untuk biaya listrik, air, dan kadang-kadang uang jajan cucu dan cicitnya.

"Rezeki di tangan Tuhan," ujar Saminem.

Ucapannya tersebut berdasarkan pengalamannya. Menurut Saminem, bukan hanya sekali-duakali ia mendapatkan rezeki tak terduga. "Kadang-kadang, ada saja yang memberi saya uang. Padahal saya tidak kenal," kata Saminem.

Uang pemberian tersebut, beragam jumlahnya, mulai dari Rp.5 ribu sampai Rp.20 ribu, menjadi semacam tambahan untuk kehidupannya yang menghidupi dua nyawa di rumahnya tersebut. "Alhamdulillah, rezeki dari Allah," kata dia dengan senyum yang terhias di pipinya yang cekung. (TRI PURNA JAYA.)
FOTO: M. REZA
*lihat versi terbitnya di sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...