Langsung ke konten utama

Mayday dan Kesejahteraan Buruh

Mayday adalah Hari Buruh Sedunia. Namun, apakah kesejahteraan buruh sudah terpenuhi? Apakah Mayday hanya sebagai seremoni?

Sebuah truk terbuka berukuran sedang berwarna biru dengan tulisan yang mencolok dibagian belakangnya membelah kemacetan di JL. Soekarno--Hatta yang bermuara di lampu merah Kalibalok pagi itu, Selasa (27-4). Matahari baru saja menyembul di ufuk timur. Namun, udara pagi yang seharusnya bersih dan segar tidak terasa di Jalan Lintas Sumatera tersebut. Debu-debu beterbangan disela truk-truk beragam ukuran yang memadati jalan itu.

Di bak terbuka truk itu, terlihat 3--5 orang berdiri berpegangan pada sisi bak. Seorang pria separuh baya tampak asyik menghisap rokoknya dalam-dalam sambil memegangi topi pancingnya yang hampir terbang terbawa angin.

Truk itu kemudian berhenti di depan Hotel Nusantara. Orang-orang yang berdiri di bak truk itu lalu melompat turun, kemudian bergabung dengan orang-orang yang sedang berdiri di sisi JL. Tirtayasa.

Rahmad (42) nama pria separuh baya bertopi pancing tersebut. Rahmad mengaku bekerja sebagai buruh harian lepas di sebuah pabrik yang berada di kawasan Tanjung Bintang. Saat ini ia sedang menjalani tahun kelima ia bekerja di pabrik tersebut. "Dari dulu emang gitu. Naik truk ramai-ramai dari Natar. Lumayan, ngirit ongkos," kata dia ketika Lampung Post menghampirinya.

Sebelumnya, Rahmad menceritakan, ia bekerja di sebuah gudang di daerah Pelabuhan Panjang. Hanya bermodalkan tenaga Rahmad mencari sedikit uang untuk mengidupi keluarganya di Natar. "Saya cuma punya ijazah SD. Apa coba gunanya ijazah SD, gak kepake. Tenaga sama otot yang kepake," tuturnya sambil menyalakan rokok.

Rahmad mengetahui menjadi buruh harian berarti tidak akan mendapatkan tunjangan apa-apa dari tempat ia bekerja. Namun hal itu tidak meyurutkan semangatnya untuk bekerja. "Saya punya teman yang ikut Serikat Buruh. Dia jelasin banyak hal. Tapi, dengan ijazah SD, mana bisa saya dikontrak. Yah, mendingan ginilah, daripada gak ada kerjaan," kata dia.

Menjadi buruh harian, kata Rahmad, lebih banyak dukanya. Selain tidak ada uang tunjangan jika sakit, kalau tidak bekerja juga tidak bisa mendapatkan uang. "Pendidikan emang penting. Makanya, anak-anak saya suruh sekolah semua," ujar Rahmad.

Rahmad memiliki tiga orang anak. Anak yang pertama dan kedua sudah bekerja, sedangkan anak yang bungsu baru lulus SMA kemarin. "Alhamdulillah, Mas. SMA semua, Tidak kayak bapaknya yang cuma lulusan SD," kata Rahmad dengan senyum merekah disela-sela kepulan asap rokonya.

Tak hanya Rahmad, Tina (38), yang juga sering menggunakan truk sebagai sarana transportasi mengatakan lebih baik bekerja sebagai buruh harian daripada hanya diam di rumah menunggu suaminya. "Penghasilan suami saya kecil. Saya bantu-bantu cari uang dapur. Anak-anak sudah pada lulus sekolah semua, jadi bisa kebantu sedikit. Bisa nabung," papar Tina yang sedang menunggu angkot ke Tanjung Bintang bersama suaminya.

Tina mengaku pernah berniat mendaftar menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) untuk bekerja di Malaysia. Iming-iming penghasilan yang besar, kata Tina, sangat menggiurkan. Tetapi, ternyata hal tersebut membutuhkan biaya yang besar juga. "Suami saya gak ngasih izin. Lebih baik kalau punya uang segitu banyak, dipakai buat buka usaha," ujar Tina yang di-iya-kan sang suami.

Pekerjaannya sebagai buruh harian lepas, menurut Tina, memang tidak memberikan apa-apa selain upah murni dari tenaganya. "Boro-boro uang jaminan kesehatan, Mas. Transport aja tidak ada," kata dia.

Tina dan Rahmad adalah gambaran realitas yang dapat dijadikan representasi kehidupan buruh di negara ini. Pekerjaan mereka bagai dua sisi mata pisau yang tajam. Tidak bekerja maka tiada penghasilan. Bekerja namun tak terjaminkan. TRI PURNA JAYA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Radin Intan, Pergolakan di Tengah Penjajahan dan Pengkhianatan

Kisah perjuangan sosok Radin Intan II dalam menghalau penjajah Belanda penuh dengan pergolakan batin, keringat, darah dan air mata. Pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung ini harus berjuang di tengah pengkhianatan saudara dan trik adu domba para penjajah untuk menguasai Lampung. Begitulah bagaimana lakon “Dimana Engkau Radin” membangun alur kisah kepahlawan Radin Intan II, perlahan namun mengaduk emosi dalam pementasan yang digelar oleh Teater 1 Lampung pada Kamis (5/12/2024) tersebut. Epos ini dimulai dengan gambaran kekejaman penjajah yang memperbudak masyarakat Lampung. Kasta dan "previllage" dimanfaatkan Belanda untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah di Bumi Lampung. Perbudakan yang kejam dan membuat masyarakat hancur digambarkan dengan jeli oleh Teater 1 melalui erangan, geleparan, karung-karung berisi potongan tubuh manusia, hingga orang hilir mudik dalam posisi membungkuk. Kesengsaraan masyarakat diperparah dengan sikap para bangsawan yang hidup bergelimang harta dan pe...

Motif Kain Kapal Lampung Menyambut di "Gerbang Kota" Amsterdam

Motif tradisional khas Lampung, yakni Kain Kapal, menjadi insipirasi seni instalasi di Centraal Station yang merupakan "gerbang kota" Amsterdam di Belanda. Kemunculan kekayaan tradisi Lampung di Benua Biru ini bermula dari foto yang diunggah oleh Robert Van Den Bos, Direktur Eppax Performing Arts (Belanda) di akun Facebook miliknya pada 27 Agustus 2020 lalu. “The new Amsterdam subway station tiled with a traditional Indonesian Palepai (ship cloth) from the Lampung Province in Sumatera – Indonesia,” tulis Robert dalam akun Facebook. Dari foto Robert, seni instalasi tersebut terlihat ditampilkan di pintu masuk stasiun yang juga terkenal sebagai galeri seni dan "pintu gerbang" Amsterdam.  Motif khas Kain Kapal berupa border (batas) yang terdiri dari tiga lapis dan motif utama berupa jung atau kapal dengan ciri bentuk tegas dan bersiku mendominasi seni instalasi tersebut. Motif utama lain dari Kain Kapal juga diberi porsi besar, yakni unsur bentuk manusia, tumbuhan dan ...

“Load”, Keseimbangan Gender Suku Pepadun Mencari Jawaban di Zurich

Musim panas masih berlangsung di Eropa. Namun cuaca di Rote Fabrik, Wollishofen, Zurich, seperti sudah memasuki musim gugur. Ditambah embusan angin dari Telaga Zurich, siapa pun yang salah kostum, harus menanggung akibatnya. Salah satunya adalah Ayu Permata Sari dan Nia Agustina. Ayu, penari kelahiran Lampung itu, beberapa kali membetulkan kerudungnya. Sementara Nia, dramaturg-nya, juga sibuk menata sweater tenunan Sumba. Kendati demikian, Swiss, negara dengan bentang alam indah namun kerap dikerkahi cuaca kurang bersahabat itu, tidak membuat utusan Indonesia dalam ajang bergengsi di Zurich Theater Spektakel itu, kehilangan keramahannya. Keduanya dengan sabar melayani beberapa komunitas Indonesia yang menemuinya, empat jam sebelum pentas perdananya. Beberapa orang lokal yang menyapanya, juga disambutnya dengan keramahan Indonesia. Load, judul tarian tunggal yang dimainkan Ayu, memang pertama kali akan dipentaskan di Zurich. Tiga hari berturut turut, dari 26 sampai dengan 28 Agustus 202...